Latar Belakang Toyota Kencangkan Budaya Industri
- Program Kelas Budaya Industri menjadi salah satu komitmen Toyota Indonesia menyiapkan tenaga siap pakai yang ditumbuhkan dari sekolah kejuruan.
Fokus utamanya adalah penanaman mentalitas kepada siswa SMK yang telah terpilih menjadi pilot project program ini.
Ketua Yayasan Toyota dan Astra (YTA) Mintarjo Darmali menjelaskan, bila pencetusan program kelas budaya industri dilatarbelakangi dari data pengangguran tertinggi di Indonesia, ternyata paling banyak diduduki oleh lulusan sekolah kejuruan.
"Bila kita lihat dari data lulusan SMK menempati posisi tertinggi pengangguran. Ini hal yang ironis sekali, padahal lulusan kejuruan itu diharapkan bisa langsung diserap dunia kerja. Setelah kita cari akar masalahnya, ternyata bukan soal kepintaran, tapi lebih ke masalah siswa SMK ini tidak memiliki budaya kerja, atau kurang lah," ucap Mintarjo kepada Kompas.com di Yogyakarta, Senin (24/9/2018).
Mintarjo menjelaskan bila selama ini kurikulum atau pembelajaran di sekolah kejuruan lebih menekankan pada sisi praktik, namun kurang dari sisi mentalitas atau budaya bekerja. Karena itu, meski siswanya handal dalam banyak keterampilan namun tidak langsung siap diserap dunia industri.
Contoh untuk masalah keselamatan, masih banyak siswa SMK yang tidak memperhatikan bagaimana bekerja yang aman. Lalu yang tak kalah penting lagi soal disiplin waktu kerja yang masih sangat kurang.
"Mengajarkan mereka kerja pakai sepatu agar safety aja itu ternyata susah, butuh waktu yang panjang untuk membangun kebiasaan itu. Ibarat lain, seperti orang memasang seatbelt ketika berkendara, bila diperhatikan masih lebih banyak menggunakan seatbelt karena takut ditilang ketimbang memikirkan dampak tidak menggunakannya," ucap Mintarjo.
Melalui program tersebut, Toyota Indonesia ingin menyentuh lebih dalam ke SMK, karena bicara mental bukan hanya mengubah pola pikir tapi juga kebiasaan buruk yang harus ditinggalkan. Pada uraian pokoknya, ada beberapa prinsip yang ditekankan.
Mulai dari 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, Rajin), keselamatan kerja (duga-bahaya), kerjasama kelompok, orientasi pada kualitas proses dan hasil kerja, kaizen atau perbaikan/penyempurnaan secara terus menerus, dan pemecahan masalah secara sistematis.
"Karena itu saya bilang program ini akan berjalan lama, tidak seperti kita memberikan beasiswa atau sumbang alat peraga yang habis diberikan tidak tahu kemana arahnya. Merubah kebiasaan itu tidak bisa langsung, harus berlahan. Sebelum murid, kita juga sudah memberikan training guru-gurunya lebih dulu," ujar Mintarjo.