Jangan Lupakan Potensi Bahaya Era Mobil Listrik di Indonesia
Sesuai Kesepakatan Paris alias United Nation Convention on Climate Change (UNFCC) ikut ditandatangani Presiden Indonesia pada 2015 lalu, maka konsekuensi penurunan emisi gas rumah kaca hingga 29 persen pada 2030 wajib terlaksana.
Salah satu upaya pemerintah Indonesia menuju ke arah sana, yaitu menggulirkan program mobil listrik (battery electric vehicle/BEV).
Upaya ini positif, karena memang teknologi masa depan itu adalah energi terbarukan yang ramah lingkungan. Kendaraan berteknologi fuel cell, berbahan bakar hidrogen, merupakan kondisi ideal yang harus dicapai di Indonesia di masa depan, melalui beberapa tahapan teknologi yang berkesiambungan.
Padahal, dengan teknologi mobil listrik, pemerintah juga harus mempersiapkan secara matang, jangan sampai justru celaka di tengah jalan. Masalahnya, masuk ke era mobil listrik itu, ibarat kita pindah dari planet Bumi kemudian pergi ke Mars, dengan karakteristik cuaca, alam, atmosfer yang sangat berbeda.
Melihat dari kaca mata pemerintah, tentunya memiliki ambisi untuk menjadi salah satu pemain utama mobil listrik dunia. Pembangunan smelter nikel dan kobalt di Morowali, Sulawesi Tengah, sebagai pemasok komponen baterai, dipercaya bakal menjadi kartu AS yang dimiliki Indonesia untuk kompetitif di mata dunia.
Namun, masih banyak sisi yang gelap, salah satunya soal potensi bahaya mobil listrik yang belum banyak dibahas. Eko Rudianto, ahli teknik otomotif, berbagi pemikirannya soal rencana ini kepada Kompas.com, di Jakarta, Senin (25/2/2019).
Eko mengatakan, salah satu tujuan digulirkan program mobil listrik adalah pengurangan impor BBM yang membebani neraca perdagangan Indonesia. Tapi, dalam konstruksi mobil listrik, selain baterai, panel pengatur, dan motor listrik sebagai komponen utama, ternyata banyak juga parts lain yang harus disesuaikan.
Artinya, kata Eko, jika sampai diproduksi lokal, mobil listrik bakal memicu pasokan impor komponen yang memang belum diproduksi di Indonesia. Jangan sampai impor BBM bisa berkurang, tapi pasokan komponen dari luar negeri semakin mewabah sehingga nilainya sama saja.
Banyak yang bilang, mobil listrik itu sama saja komponennya dengan mobil konvensional, bedanya tidak pakai mesin, diganti motor listrik dan baterai. Tetapi, tidak sesederhana itu, banyak komponen lain yang tadinya tidak perlu digunakan ketika produksi mobil, jadi harus dipertimbangkan untuk digunakan, kata Eko, yang bertastus mantan kepala engineer Toyota ini.
Tesla misalnya, merupakan mobil listrik paling laris di dunia sekarang, menggunakan komponen-komponen langka yang kemungkinan besar belum tersedia di Indonesia. Merek mobil milik Elon Musk ini, kata Eko, menggunakan komponen neodymium magnet untuk rangkaian kelistrikan pada mobil. Kemudian, bauksit digunakan sebagai bahan baku aluminium untuk konstruksi sasis dan bodi. Kerangka baterai di bagian dek bawah, menggunakan baja titanum.
Sifat aliran listrik yang melompat dan berpindah ini harus dijaga dengan material mobil yang menggunakan komponen-komponen khusus, sehingga aman. Jangan sampai ada kejadian, ketika mobil listrik melintas di bawah sutet (saluran udara tegangan ekstra tinggi) atau kereta listrik, malah menimbulkan lompatan arus listrik dan membahayakan konsumen. Belum lagi genangan air atau banjir, ucap Eko.